Selasa, 10 Juni 2008

Budaya



Perempuan Ranub

Mellyan

PAPAN peringatan itu dipasang pada lempeng besi. Isinya larangan bagi pedagang kaki lima berjualan di muka Pasar Atjeh dan pintu masuk Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tapi tempat ini selalu ramai pedagang, mulai dari pedagang buah-buahan hingga pakaian. Mereka berebut pembeli. Mereka seperti mengabaikan larangan itu.


Di antara pedagang tersebut, ada sejumlah perempuan yang menjual barang yang sama. Jumlahnya lebih dari 15. Sebagian menggunakan gerobak beratap yang seragam. Di Aceh, gerobak itu disebut ‘jambo’. Di bagian atas jambo tertulis “Jambo Ranub Aceh”. Dalam bahasa Indonesia, ranub adalah sirih.

Salah satu jambo tadi milik Fatmawati, perempuan asal Sigli, Pidie. Umurnya di atas 50-an. Uban menyembul dari balik selendang ungu yang menutupi kepalanya. Wajahnya penuh keriput. Namun bibirnya tetap saja merah. Bukan karena gincu, tapi akibat kebiasaan mengunyah sirih.

Di atas jambonya terdapat kotak kaca yang berisi sirih yang sudah digulung dan dibentuk kerucut dan prisma. Di ujung sirih berbentuk prisma diisi cengkeh. Dalam kotak itu juga ada wadah plastik berisi campuran pinang yang sudah ditumbuk kasar dengan gula dan kencur. Ramuan inilah yang membuat sirih kerucut menjadi manis. Sedangkan sirih berbentuk prisma berisi campuran kapur, pinang dan gambir. Bahan-bahan itulah yang membuat bibir pemakan sirih memerah.

"Lon ka treb meukat di sinoe, ikot nek. Thon1969 wate mantong umu siblah thon (saya sudah lama jualan di sini, ikut nenek. Dari tahun 1969. Waktu itu umur saya masih sebelas tahun)," ujar nenek yang biasa dipanggil "Kak Fat" oleh rekannya.

Jambo ranub Fatmawati adalah jambo bantuan yang diberikan oleh Perusahaan Tambang dan Minyak Negara (Pertamina). Penyerahan itu dilakukan oleh General Manager Unit Pemasaran I Pertamina Edwin Bakti dan diterima oleh Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal.

"Jinoe ka mangat, kana bantuan jambo, dile kamoe meukat di ateuh meja tuha (Sekarang sudah enak, ada bantuan gerobak, dulu kami jualan di atas meja tua)," ujarnya.

Hampir setiap hari Fatmawati berburu sirih di Pasar Keudah. Jika tidak beruntung, ia harus memesan sirih kepada muge (pedagang daun sirih) di Blang Bintang, Aceh Besar. Harga seikat sirih Rp 1.500. Setelah diracik dengan ramuan khusus, empat buah ranub yang telah dibentuk dijual seharga Rp 1.000. Dalam sehari Fatmawati bisa mendapat keuntungan bersih Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Itu sudah dipotong ongkos transportasi Rp 16 ribu dari rumah ke mesjid Baiturrahman.
"Mehai bacut, sebab lon ba barang, sayang gob dimita peng cit lagee tanyoe. Na cit untong bacut, meunyo leue yang lagoet (Yang agak mahal ongkos becaknya, karena saya bawa banyak barang, kasihan, kan mereka cari uang juga seperti kita, ada juga untung sedikit, kalau ramai yang beli)," kata Fatmawati, sambil melayani pembeli.

Ranub dijual dengan berbagai rasa. Ada yang manis dan pahit-pahit pedas, atau yang asli. Sirih untuk rasa manis dibuat dari jenis seulasih. Warna daunnya hijau pekat, ukurannya daunnya lebih kecil dan mengkilap. Sirih dengan rasa manis mulai banyak digemari sejak 10 tahun lalu. Sedangkan sirih yang digunakan untuk jenis kedua, warna daunnya lebih pudar dan lebar. Di Aceh, sirih ini dikenal dengan nama ranub cot iku. Karena bagian ujung daun yang mencuat.

“Ranub mameh rame yang galak, hana tamah gapue, jadi han mabok. Aneuk muda leubeh galak ranub mameh (Sirih manis ramai yang suka, karena nggak ada tambahan kapur, jadi nggak membuat pusing. Anak muda juga lebih suka sirih manis),” katanya.

Fatmawati juga menjual buah pinang yang besarnya rata-rata seukuran jempol kaki orang dewasa. Harganya murah. Satu biji pinang ia jual Rp 300. Dalam satu hari Fatmawati paling banyak hanya bisa mendapat Rp 5.000 dari menjual buah-buah pinang itu.

“Pineung nyen, rame yang bloe untuk ubat. Saket maag, na cit untuk penambah stamina,rame yang peusan, seubab payah meuteume pineung nyen. (Pinang muda itu banyak yang cari. Karena bisa untuk obat maag, untuk penambah stamina. Ramai yang pesan, karena susah untuk mendapat pinang muda),” katanya.

Dari hasil berjualan ranub, Fatmawati berhasil menyekolahkan keempat anaknya, Nurhafni yang duduk di kelas dua Madrasah Aliyah Negeri (MAN), Ibnu Fajar kelas satu MAN, Zulqhaiah kelas dua Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSn) dan si bungsu Fajri Maulizar di pesantren Ampe Awe, Aceh Besar.

Harga barang yang terus meningkat membuatnya semakin kewalahan mencukupi kebutuhan hidup, termasuk biaya sekolah.

“Biasa jih sigolom di euk yuem barang, jeut ta peusep-sep, jino ka payah that (Biasanya sebelum naik harga barang bisa dicukup-cukupin, sekarang sudah semakin susah),” keluh Fatmawati.


“KALAU ditanya sejak kapan tradisi makan sirih dimulai, saya juga nggak tahu. Menurut endatu (nenek moyang), orang Aceh terkenal suka makan sirih. Ini bisa dilihat di setiap rumah ada pohon sirih. Mungkin sekarang sudah agak berkurang. Sirih juga dijadikan simbol penikahan. Mulai dari cah roat, yaitu kunjungan pertama orang tua pria terhadap calon pengantin perempuan,” kata Badruzzaman. Ia ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Lembaga ini kerap menjadi rujukan untuk mencari tahu adat dan tradisi di Aceh.

Menurut Badruzzaman, orangtua yang jadi seulangke datang ke tempat anak gadis membawa batee ranub di saat acara cah roat. Batee ranub adalah sebuah tempat berbentuk cawan berwarna kuning yang biasa terbuat dari tembaga bersepuh emas.

“Tapi sekarang cuma dari (bahan) kuningan saja. Di dalamnya terdapat kerandam, yaitu tempat kapur, gambir, bakung, cengkeh serta kencur yang terbuat dari emas atau perak. Juga ada gapet (alat) untuk memotong pinang,” katanya.

Dalam adat Aceh, kata dia, sirih juga dijadikan sebagai tanda pengikat. Bila ada tamu datang ke rumah, tamu selalu disuguhkan sirih terlebih dulu. Setelah itu baru disajikan makanan.

Selain pernikahan, hampir setiap kenduri bisa dipastikan ada batee ranub. Bahkan ketika ada yang meninggal. Batee ranub menjadi sajian utama. Dari situ, kata Badruzzaman, sirih menjadi salah satu sarana komunikasi masyarakat Aceh.

“Orang pulang menunaikan ibadah haji selalu bawa pulang batee ranub untuk oleh-oleh yang dibagikan kepada saudara. Mungkin saja di Arab sana, bukan berfungsi sebagai tempat sirih. Tapi sampai ke Aceh dijadikan batee ranub,” kisahnya.

Sirih juga bermanfaat sebagai obat.

“Orang jaman dulu kuat dan sehat. Giginya nggak rapuh karena mereka makan sirih yang mengandung berbagai khasiat untuk menyembuhkan penyakit. Mulai penghilang bau badan hingga obat jantung. Khasiat daun sirih sudah banyak dikenal dan telah teruji secara klinis. Hingga kini, penelitian tentang tanaman ini masih terus dikembangkan,” ujarnya, serius.

Bahan-bahan yang digunakan untuk meramu sirih juga mengandung berbagai khasiat yang menyehatkan badan. Pinang juga dikenal khasiatnya sebagai penambah stamina. Gambir untuk obat maag. Bakung mengandung bahan penguat gigi.

“Itu sebabnya orang-orang tua di Aceh yang suka sugoe bakong giginya kuat. Sampai umur senja masih bisa makan apa saja. Jadi semua ramuan sirih itu menyehatkan,” kata Badruzzaman.

Menurut kajian kesehatan, sirih mengandung zat antiseptik pada seluruh bagiannya. Daunnya banyak digunakan untuk mengobati mimisan, mata merah, keputihan, membuat suara nyaring dan banyak lagi, termasuk disfungsi ereksi.

Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Piper Betle Lynn. Ia termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon lain. Biasanya orang Aceh menggunakan pohon pinang sebagai tempat tanaman ini merambat.

Tingginya mencapai 5 meter, dengan batang berwarna coklat kehijauan, bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang segar. Panjangnya sekitar lima sampai delapan sentimeter dan lebar dua sampai lima sentimeter.

Minyak atsiri dari daun sirih memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida atau anti jamur. Itu sebabnya sirih berkhasiat menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran pencernaan. Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, meluruhkan ludah, dan menghentikan perdarahan.

Selain sirih hijau juga dikenal sirih merah. Sesuai namanya, sirih ini berwarna merah. Dan mempunyai nama ilmiah Piper Crocatum. Tanaman ini juga berkhasiat menyembuhkan penyakit jantung koroner, asam urat, hipertensi, sel-sel kanker, diabetes mellitus dan tumor.

Dari negeri mana asal sirih?

“Saya tidak tahu asal-muasal sirih, karena tidak ada buku atau literatur yang saya baca mencatatnya. Tapi saya pernah mendengar kalau sirih itu berasal dari tanaman yang berasal dari India, Sri Lanka dan Malaysia,” kata Badruzzaman.

Yang pasti, tradisi menyirih sudah lama berlangsung di Aceh. Tradisi merangkai sirih untuk pesta-pesta adat juga mulai berkembang. Ada berbagai macam rangkaian, seperti Kupiah Meukeutop, Siput, Buku Balam, Nenas, Ranub Bungkoh, dan berbagai bentuk lainnya.

“Adanya tarian ranub lampuan yang menggambarkan penyambutan tamu juga menunjukkan salah satu keistimewaan sirih,” lanjut Badruzzaman.

Di samping masjid Baiturrahman, gerobak pedagang ranub terlihat berjajar-jajar. Selain berjualan ranub, Fatmawati juga menerima pesanan ranub dalong. Ini sirih yang dimaksud Badruzzaman. Rangkaian sirih beragam bentuk. Harga ranub dalong lebih mahal, antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu. Tergantung bentuk rangkaian dan tingkat kerumitan. Tapi pembeli ranub dalong tak banyak.

Menjelang magrib, para pedagang buah-buahan membereskan dagangannya. Tak lama kemudian tempat mereka digantikan pedagang sepatu, penjual jam, dompet, tali pinggang serta buku. Dagangan mereka hampir memenuhi badan jalan. Namun Fatmawati masih setia dengan sirihnya. Ia baru akan dijemput becak motor langganannya tengah malam nanti. Becak motor itu akan mengantarkan Fatmawati ke rumah di Peuniti, yang dibangun dari jerih payahnya dan sang suami.***


*) Mellyan adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.

Selasa, 29 April 2008

Budaya

1455 kata

Hikayat TA Sakti
Oleh Mellyan

ORANG lebih mengenalnya dengan panggilan T.A atau T.A. Sakti. Tapi ia memiliki nama panjang Teuku Abdullah Sulaiman. Ia lahir di Pidie, 13 September 1954.

Ali Hasymi, penulis dan bekas gubernur Aceh, menyarankan agar ia menggunakan nama T.A Sakti. Alasannya cuma agar lebih singkat dan melambangkan kampung kelahirannya, kota Sakti. Ia punya kerja yang tak lazim, yait
u mengumpulkan hikayat dan mengalihaksarakan hikayat tersebut dari aksara arab-melayu ke aksara latin, namun tetap dalam bahasa Aceh.

“Sebenarnya banyak orang yang menyarankan agar hikayat-hikayat tersebut diubah dalam gaya bahasa yang lebih modern. Tapi saya tidak mau sedikit pun mengubahnya, biar tetap asli,” ujarnya.

Sebilah tongkat menopang tubuhnya. Keriput mulai menghiasi wajahnya. Hari itu ia mengenakan setelan kemeja kotak-kotak coklat krem dan sarung.

“Dipike legop buet ureung ilhab (Dipikir sama orang, kerja orang kurang waras),” ujarnya.

Ia tinggal di jalan Miruek Taman, Darussalam, Banda Aceh. Kamar kerjanya tak seberapa luas. Di situ ada dua lemari besar terbuat dari kayu. Setiap rak dipenuhi buku, yang sebagian besar merupakan hikayat dan sejarah.

Hikayat-hikayat dicatat dalam lembaran-lembaran tua dan kusam berhuruf Arab-Melayu. Sebagian besar adalah warisan keluarganya. Beberapa kitab ia pinjam dari perpustakaan Ali Hasymi.

Seperangkat komputer terletak di sudut ruang. Itu pemberian seorang temannya yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sang teman rupanya juga sangat peduli pada sastra Aceh.

“Lon meubuet lage nyoe ka dari thon 1992, watee nyan phon that “Meudeuhak” dimuat di Serambi,”(Saya melakukan ini sudah sejak tahun 1992, waktu itu pertama kali “Meudeuhak” dimuat di harian Serambi Indonesia),” ujarnya, seraya memperlihatkan karyanya itu kepada saya.

“Meudeuhak” adalah kisah tentang seorang penasihat raja yang masih belia dan berasal dari pedalaman yang bernama Meudeuhak. Ia mempunyai pikiran yang sangat cerdas dan mencerahkan, sehingga membuat iri penasihat istana lainnya. Kisah Meudeuhak ini digolongkan dalam cerita-cerita bersyair.

“Banyak tauladan yang dapat diambil dari kisah ini, seperti Abu Nawas yang juga penasehat raja, tapi Meudeuhak bukan cerita lucu,” kata T.A.

T.A kecil akrab dengan hikayat. Ibunya yang amat mencintai hikayat menuturkan kisah-kisah itu kepadanya. Di kota Sakti, Pidie, masa itu belum ada pesawat televisi atau radio. Tak banyak hiburan yang bisa dinikmati anak-anak.

“Umi sering mendendangkan hikayat, begitu juga dengan orang kampung,” kenangnya.

Kecintaan sang ibu terhadap hikayat pelan-pelan menular kepada T.A kecil. Sebuah hikayat yang berjudul “Akhbarul Karim” telah dihapalnya sejak ia masih kanak-kanak. Selain pengaruh lingkungan dan keluarga, ketertarikannya pada hikayat juga karena ada sosok seniman Aceh yang mengilhaminya, yaitu Tengku Adnan PM TOH yang kini telah almarhum.

“Saya menyaksikan beliau beraksi waktu masih berumur 12 tahun, di kota Sakti. Pertunjukannya memikat hati saya, dengan alat peraga, ia dapat memerankan berbagai tokoh dalam hikayat, saya ingat waktu itu beliau sedang membawakan kisah Malem Diwa,” tutur T.A.

Minatnya terhadap sastra berlanjut hingga remaja. Setelah lulus SMA, T.A melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Namun tahun 1985, ia mengalami kecelakaan lalu-lintas. Waktu itu ia pulang dari mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai syarat menyelesaikan pendidikan. Kedua kakinya mengalami cedera serius, kemudian lumpuh.

“Hampir setahun nasib saya tak menentu. Banyak yang menolak karena kaki saya yang cacat,” tuturnya.

Setelah musibah itu, ia kembali ke Aceh dan berobat di Beutong, Nagan Raya. Meski sudah berobat, cacatnya tak sembuh total. Namun di sana kecintaannya pada hikayat kembali tumbuh. Setelah itu ia kembali ke Banda Aceh dan melamar sebagai pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.

Selain mengajar, ia giat mengalihaksarakan sejumlah hikayat dengan mesin ketik merek Underwood. Mesin ketik itu buatan Spanyol, keluaran tahun 1979, seharga Rp 63 ribu. Harganya sangat mahal untuk ukuran masa itu dan bermutu tinggi. Hampir 25 tahun mesin ketik ini setia membantu T.A melestarikan hikayat-hikayat tua. T.A sangat menyayangi mesin ketiknya.

Ketika tsunami melanda Aceh dan menghancurkan sebagian kota Banda Aceh, mesin ketiknya ikut jadi korban. Walaupun sudah dibersihkan, sisa lumpur masih melekat pada bagian dalam mesin. Sebagian onderdil copot. Karat menempel pada besi-besi mesin yang tersisa. Tombol-tombol hurufnya mengeras.

Mesin ketik tua itu kemudian ia simpan dalam lemari bukunya bersama kitab-kitab hikayat yang juga sudah usang. Baginya, mesin itu adalah saksi bisu yang menemani perjuangannya.

Ia sempat membeli mesin ketik baru di Pasar Peunayong. Tapi ketika ia mulai mengetik, ia langsung merasa kelelahan.

“Saya sempat trauma, kerena waktu saya mengetik, bisa jatuh sakit sampai tujuh belas hari, pengaruhnya benar-benar luar biasa,” ujarnya.

SAMPAI saat ini, T.A telah mengalihbahasakan 30 judul dan kalau dihitung per halaman, sebanyak 7.000 halaman. Sebagian besar penulisan hikayat tersebut menggunakan biaya sendiri.

“Masalah yang paling besar yang saya hadapi dalam mengalihbahasakan hikayat ini adalah tidak adanya dana, saya menggunakan honor mengajar untuk membayar hikayat yang sudah saya cetak,” keluhnya.

“Biasanya saya datang ke percetakan dengan menggunakan RBT (rakyat banting tulang alias ojek), karena saya sudah tidak sanggup lagi jalan. Setiap pengambilan honor mengajar di FKIP Unsyiah, saya menyicil ke percetakan,” ujarnya.

Kebanyakan buku-buku yang sudah ia cetak, ia titip untuk dijual di di toko buku. Dalam satu tahun, hanya satu atau dua kali ia mengecek apakah buku-buku itu laku atau tidak. Ini ia lakukan selama tujuh tahun. Tapi karena kondisi fisiknya semakin lemah, ia sudah jarang bolak balik ke percetakan dan toko buku.

“Yang saya lakukan bukan berorentasi pada keuntungan, yang ada malah rugi. Tapi saya tetap ikhlas, sekarang saya sudah tidak sanggup lagi. Tubuh saya semakin lemah. Jangankan untuk berpergian, saya paksakan untuk mengetik saja bisa jatuh sakit,” ujarnya.

T.A masih terus bejuang demi hikayat yang dicintainya, termasuk dengan cara membantu para sastrawan lain mengirimkan naskah mereka ke media. Ia pernah pernah membantu UU. Hamidi, seorang peneliti sastra Aceh. Ia mengantarkan karangan Hamidi ke harian Serambi Indonesia dan media lain dengan menggunakan ojek.

Usahanya melestarikan hikayat tak pernah surut. T.A pernah menyurati sekitar 80 lembaga atau perseroan yang ada di Indonesia. Mayoritas suratnya tak dibalas. Balasan justru dating dari lembaga asing, meski isinya menolak memberi bantuan.

“Saya merasa dihargai kalau ada surat balasan walaupun berisi penolakan,” cetusnya.

Dari puluhan lembaga yang dikirimi suratnya itu ada satu dua yang menyambut baik permohonannya, seperti World Bank Jakarta dan PT Arun di Lhokseumawe. World Bank memberikan biaya untuk menerjemahkan empat judul hikayat, yaitu “Hikayat Meudeuhak”, “Hikayat Aulia Tujoh”, “Hikayat NabiYusuf” dan “Hikayat Akhbarul Karim”. PT Arun memberi biaya terjemahan untuk tiga jilid “Hikayat Abunawas”.

Selain mengalihaksarakan hikayat-hikayat itu, T.A Sakti juga banyak menghasilkan karya-karya sendiri dalam bentuk hikayat. Dari sekian banyak karyanya, ada tiga hikayat yang sudah diterbitkan. Semuanya bernuansakan lingkungan hidup. “Lingkungan Udep Wajeb Ta Jaga” (lingkungan hidup wajib dijaga), “Wajeb Ta Sayang Binatang Langka” (wajib disayang binatang langka) dan “Binatang Ubit Ka Dit Lam Donya” (binatang kecil sudah sedikit di bumi).

Berkat itu pula ia mendapatkan penghargaan Kehati Award, tahun 2001 dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) dan penulis karya terbaik Sastra Aceh 2003 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh.

Tapi kerja beratnya tidak hanya berbuah prestasi dan perhargaan, melainkan penyakit baru. Matanya terserang penyakit katarak. Dua kali ia melakukan operasi mata.

“Mungkin juga karena pengaruh saya menterjemah hikayat itu siang malam. Padahal tulisan di dalam kitab itu sudah sulit dibaca, banyak yang sudah hitam, bahkan siang hari saja saya menggunakan bantuan senter untuk melihat tulisan dalam kitab hikayat itu,” kata T.A.

UPAYA T.A dalam melestarikan budaya Aceh melalui hikayat telah menarik perhatian dan simpati kalangan seniman dan sastrawan di Aceh. Menurut Azhari, pendiri dan direktur Komunitas Tikar Pandan, T.A Sakti merupakan salah satu dari sedikit orang yang fokus dan mempunyai konsentrasi besar terhadap hikayat.

“Dia orang yang sangat diperlukan sekarang. Karena hikayat-hikayat yang ada banyak yang berserakan. Dia mempunyai peran penting dalam mengalihbahasakan hikayat agar bisa dinikmati masyarakat Aceh,” ujar Azhari.

Azhari berharap, T.A punya penerus untuk menjaga dan melanjutkan perjuangannya. Tujuannya agar hikayat Aceh bisa bertahan dan tidak punah. Sebab, menurut Azhari, hikayat merupakan semangat bagi orang Aceh.

Sedangkan Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA), mengatakan bahwa hikayat merupakan simbol yang menunjukkan identitas Aceh. Di dalamnya terdapat nazam-nazam (nasehat) dengan metode penyampaiannya yang menyentuh hati.

“T.A Sakti telah membangkitkan kembali identitas Aceh, karena identitas itu perlu, untuk membangkitkan kebanggaan yang direalisasikan dalam bentuk positif perilaku rakyat Aceh,” ujarnya.

MAA pernah mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan bantuan kepada T.A Sakti untuk mencetak karya-karyanya. Meski mengakui bahwa lembaganya tidak punya peran dan dana untuk hal-hal yang telah dilakukan Sakti, Badruzzaman kerap memberi motivasi kepada T.A Sakti dalam menghasilkan karya.

Ironisnya, saat ini hampir tidak ada lagi masyarakat Aceh yang peduli dengan hikayat. Lebih-lebih lagi generasi muda.

“Generasi muda tidak menyukai hikayat, karena mereka tidak memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat,” cetus Badruzzaman.


DI kamar kerjanya yang kecil, T.A terus bergulat dengan buku dan kitab-kitab hikayat. T.A juga tengah menerjemahkan sejumlah hikayat ke dalam bahasa Melayu. Dia berharap mendapat sambutan dari pemerintah negeri jiran.

“Saya berharap pemerintah Malaysia nantinya dapat membantu dan menghargai kerja keras saya serta dapat menerbitkannya. Mereka lebih peduli terhadap budaya, berbeda dengan Indonesia yang hanya sibuk korupsi saja,” ujarnya, kesal.

“Saya sempat berpikir, kalau nanti anak-anak saya tidak tertarik dengan hikayat-hikayat Aceh ini dan seperti yang telah saya lakukan, semua buku-buku yang ada di sini akan saya hibahkan ke orang lain,” lanjutnya, sambil menunjuk ke deretan buku yang bersusun rapi di lemari.


Mellyan adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry, Banda Aceh dan bekerja sebagai wartawan di tabloid Sipil.

Sabtu, 26 April 2008

Lingkungan

1897 kata
Bakau Azhar
Oleh Junaidi Mulieng

DI desa Lam Ujong, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, puluhan ribu batang mangrove atau dikenal sebagai bakau memenuhi sekitar 35 hektare daerah pantai itu. Akarnya menembus ke dalam pasir. Tinggi pohon-pohon muda itu hampir sama, antara dua sampai dua setengah meter. Daun-daunnya hijau lebat.

“Itu bakau yang duluan saya tanam. Umurnya bakau ini baru dua tahun,” kata lelaki itu.

Namanya Azhar Idris. Ia lahir di Lam Ujong 43 tahun silam. Badannya tegap. Kulitnya hitam karena sering terbakar matahari. Tatapan matanya tajam.

Di antara rimbunan bakau ada juga yang masih kecil. Usianya baru dua bulan. Letaknya di sepetak tambak seluas dua hektare milik Azhar. Beberapa meter dari lokasi penanaman, Azhar juga melakukan pembibitan. Jumlah bibit sudah mencapai ratusan. Tingginya 30 sampai 60 sentimeter.

“Tapi walaupun masih kecil, manfaat dari bakau ini sudah mulai terasa. Saat ini, masyarakat sudah mulai memancing dan mencari udang lagi ke daerah sini. Padahal beberapa tahun lalu mana ada. Jangankan ikan dan udang, saya sendiri tidak berani kemari. Tapi sekarang kepiting juga sudah mulai ada lagi,” kata Azhar.

Azhar melakukan pembibitan dengan cara mengambil biji bakau dari pohon yang sudah tua, sisa-sisa tsunami yang berada di sekitar tambaknya. Biji-biji tersebut kemudian ia benamkan satu persatu ke tanah pada lokasi yang telah ia sediakan. Mulanya bibit itu tumbuh sebesar lidi, dengan daun satu dua. Pelan-pelan tumbuhan itu kian menjulang.

Selain melakukan pembibitan secara langsung, Azhar juga menggunakan polibag untuk menyemai biji-biji. Menurut Azhar, kedua hal ini sama efektifnya.

“Biasanya yang memakai polibag, itu saya gunakan untuk stok pesanan para NGO. Sedangkan yang saya lakukan pembibitan secara langsung, untuk penanaman di sini. Namun keduanya sama-sama bagus,” ungkap Azhar.

Selain di tambak dan pinggiran sungai, bakau juga mulai mengelilingi hampir seluruh desa Lam Ujong. Pemandangan itu pelan-pelan mengembalikan wajah desa ini ke wujud sebelum bencana.

TSUNAMI pada 26 Desember 2004 membuat Lam Ujong rata. Rumah dan seluruh mangrove musnah. Hanya beberapa orang yang selamat di desa pinggir laut itu. Beberapa orang warga yang selamat adalah Azhar dan keluarganya. Namun rumah bertingkat dua milik mereka habis dilumat gelombang.

Beberapa minggu setelah tsunami, sejumlah warga mulai semua sibuk mencari harta benda yang hilang. Sebagian lagi mulai bangkit dan mencari kerja. Mereka tak tahan berlama-lama hidup dalam tenda dan barak, menunggu bantuan. Tapi Azhar memilih pergi ke pesisir pantai.

“Cari bakau. Karena saya menganggap bakau itu lebih penting, ini akan dibutuhkan nantinya,” ujar Azhar.

Ia bahkan sama sekali tidak peduli suasana di sekitarnya. Anak dan isteri ia tinggalkan di barak pengungsian. Dalam kepalanya hanya ada satu keinginan, bagaimana caranya bakau yang dulu memenuhi tambak desanya bisa kembali tumbuh dan menghijau.

Tambak menjadi harapan hidup Azhar. Bahkan orang kampung sempat mengenalnya sebagai juragan tambak. Semua itu tidak terlepas dari kegigihannya, termasuk menanam bibit bakau hingga memenuhi tanggul tambaknya. Itu yang membuat usaha tambaknya berhasil.

Azhar sudah mulai melakukan penanaman bakau sejak tahun 1982. Waktu itu usianya 15 tahun. Ia bekerja sebagai petani tambak pada seorang saudagar kaya di kampungnya. Di sela-sela kesibukannya sebagai petani tambak, ia menyempatkan diri untuk menanam bakau di sekitar tambaknya. Upaya penanaman yang dilakukan Azhar kala itu hanya sebatas mengantisipasi gelombang pasang dan angin kencang yang bisa merusak tambak dan desanya.

Namun, selepas tsunami tak mudah mencari bibit bakau. Berbagai upaya ia lakukan. Mulai dari pencarian sisa bakau untuk dijadikan bibit, proses pembibitan sampai penanaman ulang. Pencarian bibit bakau tak hanya dilakukannya di desanya saja. Ia pergi ke tempat-tempat lain. Ia sudah bertekad mengembalikan rimbunan bakau di desanya.

“Waktu pertama kali saya menanam bakau pascatsunami, hampir semua orang yang saya kenal menganggap kalau saya ini sudah gila. Termasuk isteri saya sendiri,” kisahnya.

Penanaman bakau yang dilakukan di daerah tambak dengan sungai memiliki hitungan jarak yang berbeda. Untuk daerah tambak, ia menanam bakau dengan jarak masing-masing satu meter, sedangkan di pinggir sungai, ditanam lebih rapat. Dari pengalamannya, bila tanaman itu ditanam berdekatan akan semakin banyak akar yang meruncing. Sehingga apabila akar-akar itu ditimbun dengan lumpur, lumpur itu tidak longsor ke dalam sungai.

“Setelah saya tanam mengelilingi pinggir sungai, semua warga juga ikut menanam bakau,” kisahnya.

HUTAN bakau umumnya tumbuh di muara sungai dan daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan ini unik, karena ia merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.

Bakau mempunyai sistem perakaran menonjol yang disebut akar napas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen.

Ada beberapa jenis yang terkenal, di antaranya apa yang biasa disebut bakau itu sendiri atau rhizopora, api-api (avicennia), pedada (sonneratia) dan tanjang (bruguiera).

Hutan ini menjadi pelindung alami untuk menahan abrasi pantai. Selain itu, bakau dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan alkohol, gula, bahan penyamak kulit, bahan atap dan bahan perahu.

“Ketika bakau itu sudah besar, akar-akarnya akan menancap kuat ke dalam tanah. Di bawah akar-akarnya itu, akan hidup tiram, udang dan kepiting. Tapi waktu itu saya belum terpikir kalau bakau ini bisa jadi benteng dari terjadinya bencana, seperti tsunami atau yang lainnya,” ujar Azhar.

Jika hutan bakau hilang, tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, namun manusia dan hewan juga ikut merasakan akibatnya. Seperti, abrasi pantai, membuat intrusi air laut lebih jauh ke daratan, banjir, perikanan laut menurun, dan pendapatan penduduk setempat praktis akan berkurang.

Selain di Lam Ujong, tempat tinggal Azhar, hutan bakau tersebar di kabupaten Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Selatan dan Pidie serta beberapa pulau kecil. Total luas hutan ini sebesar 54.335 hektare.

Sebelum bencana tsunami, hutan bakau di Aceh telah mengalami kerusakan seluas 2.442,69 hektare di kawasan hutan dan 344.401.08 di luar kawasan hutan bakau. Setelah bencana, kerusakan makin bertambah. Berdasar data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada 2005 kerusakan akibat musibah tersebut seluas 25.000 hektare. Dan menurut Dinas Kehutanan, luas areal yang potensial untuk direhabilitasi seluas 24.950 hektare.

Saat ini sekitar 26.130 hektare kawasan hutan bakau telah direhabilitasi oleh berbagai lembaga swadaya maupun pemerintah. Dan sekitar 28.900 hektare pantai berpasir sudah ditanami kembali. Namun, kegagalan penanaman kembali yang terjadi di masa rehabilitasi dan rekonstruksi disebabkan berbagai faktor.

“Di antaranya, bibit yang tidak layak, metode penanaman yang salah, tumpang tindihnya program dan koordinasi rehabilitasi, serta tidak jelasnya kebijakan tata ruang,” ujar Dede Suhendra, senior forest officer di World Wild Fund (WWF) Indonesia untuk program Aceh.

Menurut Dede, diperlukan beberapa langkah strategis dalam mengelola bakau, di antaranya, melakukan reboisasi secara terencana dan memperjelas tata ruang wilayah pesisir. Selain itu, perlu memberi akses langsung kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, serta adanya kepastian hukum atas pengelolaan hutan bakau.

“Proyek hutan bakau yang dilaksanakan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias juga hanya setengahnya yang berhasil,” sambung Dede.

Ini diakui oleh direktur Pengembangan Ekonomi Hutan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Ricky Avenzora. Namun kegagalan itu, kata Rizky, lebih disebabkan oleh ketidakstabilan ekologi di pesisir pantai Aceh. Faktor lainnya karena kekurangan air dan serangan sejumlah penyakit.

Pada tahun 2006 lalu jumlah bakau yang telah ditanam BRR di Aceh pada 2006 mencapai 16 juta batang. Namun, kata Rizky, “Tingkat keberhasilan 50 persen di pesisir barat dan 78 persen di wilayah pesisir timur.”

KETIKA saya mengunjungi pesisir Alue Naga, kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh terlihat hamparan tambak yang dipenuhi bakau. Namun kondisinya sangat memprihatinkan. Sebatas mata saya memandang, hanya tinggal batang-batang kecil yang terlihat. Bahkan, sebagian hanya terlihat pucuknya saja yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sedangkan bagian lain terendam air. Ada juga yang hanya tinggal batang kering.

Begitu pula bakau di kawasan Lambada, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Pemandangan yang sama saya jumpai di sepanjang Jalan Malahayati dan di sebelah kiri dari arah Simpang Mesra menuju Krueng Raya.

Diperkirakan ratusan ribu batang bibit bakau mati setelah beberapa kali dilakukan pergantian bibit baru. Program penghijauan hutan pantai sebagai “benteng” abrasi dan gelombang laut di Aceh belum berjalan sesuai harapan.

Sejumlah petambak juga mengeluhkan banyaknya jumlah bibit bakau yang mati. Hal ini dialami Junaidi, salah seorang petani tambak di Alue Naga.

“Sudah tiga kali dilakukan penggantian bibit, namun hanya sebagian kecil yang berhasil hidup dan tumbuh tidak begitu subur,” ujarnya kepada saya.

Berdasarkan pengalamannya, pada penanama tahap pertama dan kedua hanya ratusan bibit yang berhasil hidup. Sedangkan puluhan ribu batang lainnya mati. Ia menilai, gagalnya penanaman tersebut disebabkan hampir seluruh bibit bakau terendam air pasang. Daunnya tenggelam. Akibatnya batang-batang muda itu membusuk. Lalu mati.

Di kawasan pesisir Alue Naga, penanaman bibit bakau tahap pertama dan kedua untuk penghijauan pantai pascatsunami mencapai 25.000 batang. Tahap ketiga, yang baru saja ditanam, sekitar 12.000 batang.

Junaidi berharap penanaman tahap ketiga ini akan berhasil.

“Sebab pola penananam yang ketiga ini berbeda dengan sebelumnya,” ujar Junaidi.

Menurut Dede Suhendra, untuk merehabilitasi hutan bakau di seluruh Aceh dibutuhkan jutaan bibit. Saat ini lembaganya juga ikut melaksanakan program penghijauan kawasan pesisir.

“Program ini sudah berjalan, pada tahap pertama telah dilakukan rehabilitasi seluas 600 hektare,” katanya.

Sedangkan pada tahap kedua akan dilakukan upaya rehabilitasi 2.700 hektare lahan pertambakan di seluruh Aceh. Melalui rehabilitasi tambak diperkirakan akan menghasilkan potensi pengembangan ekonomi. Tapi penghijauan itu bakal jadi mimpi belaka tanpa ada sebatang bibit.

KESULITAN memperoleh bibit dalam jumlah besar jadi kendala utama program rehabilitasi hutan bakau Aceh yang dilakukan beberapa lembaga internasional di bidang lingkungan, termasuk Wetlands Internasional Indonesia Programme atau disingkat WIIP. Lembaga ini tengah melakukan upaya penghijauan kawasan pesisir atau “Green Coast”. Desa Lam Ujong menjadi salah satu kawasan yang mendapat perhatian.

WIIP bekerjasama dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk membantu pemerintah dalam melestarikan dan pemafaatan lahan basah Indonesia. Organisasi ini merupakan cabang dari Wetlands International yang berkedudukan di Malaysia. Tahun 1985, Asian Wetlands Bureau (AWB) melakukan kerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam bentuk Interwarder East Asia Pacific Shorebird Study Programme.

Tahun 1995, Asian Wetlands Bureau melebur diri ke dalam Wetlands International, berkantor pusat di Nederland dan pemerintah Indonesia mendaftarkan diri menjadi anggota. Atas dasar itu, Asian Wetlands Bureau berganti nama menjadi Wetlands International Indonesia Programme yang sekaligus sebagai penerus Interwarder dan bukan merupakan badan hukum Indonesia.

Di Lam Ujong, beberapa bulan setelah tsunami, WIIP menurunkan staf lapangan mereka Eko Budi Priyanto.

Saat berjalan mengelilingi kampung, ia bertemu seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengumpulkan sisa batang bakau. Awalnya, Eko mengira laki-laki itu orang yang mengalami gangguan jiwa akibat bencana hebat. Saat hampir semua orang sibuk mencari harta benda, sanak keluarga dan bantuan, lelaki itu malah lebih memilih mencari sisa-sisa bakau.

Eko mencoba melakukan pendekatan dan mencari informasi tentang laki-laki yang dianggapnya misterius itu. Ia bertanya kepada orang-orang terdekat lelaki itu. Eko juga pergi ke barak menjumpai keluarga lelaki itu.

“Isterinya mengatakan pada saya waktu itu, suaminya memang gila,” kenang Eko tentang pertemuannya dengan Azhar.

“Lalu saya coba masuk secara personal, mencoba mengenal Azhar lebih jauh. Sebenarnya maunya orang ini apa. Setelah itu, saya baru menyadari kalau dia tidak gila seperti yang dituduhkan orang. Dia adalah orang yang saya cari,” kata Eko.

WIIP membeli ribuan bibit bakau yang ditanam Azhar. Sekitar 250 ribu bibit. Bibit yang dikembangkan Azhar termasuk yang bagus dan berumur panjang.

WIIP juga mempercayakan kepada Azhar untuk melaksanakan “Green Coast” di Lam Ujong.

Azhar baru menyadari bila ‘kegilaan’ yang selama ini dilakukannya berhubungan dengan penyelamatan lingkungan. Hal tersebut tidak hanya bermanfaat untuk tambaknya, melainkan seluruh makhluk hidup yang berada di sekitar desa.

Azhar membentuk kelompok kerja untuk melaksanakan program WIIP. Para anggota direkrut dari warga setempat. Semula berjumlah 15 orang, kini 35 orang. WIIP juga memberi pelatihan tentang bakau kepada anggota kelompok ini.

“Alhamdulillah sekitar delapan puluh persen bakau yang ditanam Pak Azhar berhasil,” ungkap Eko.

NAMA Azhar jadi populer di kalangan relawan lingkungan gara-gara bakau. Beberapa bulan lalu, salah seorang staf World Wide Fund for Nature atau WWFN meneleponnya. Saat itu Azhar sedang disibukkan dengan tanaman-tanaman bakaunya. Orang tersebut mengabarkan bahwa Azhar terpilih sebagai salah satu duta lingkungan untuk membawa obor Olimpiade Beijing 2008, di Jakarta pada 22 April 2008.

Azhar panik. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia sempat berpikir, mana mungkin orang kampung dan tidak berpendidikan seperti dirinya bisa terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade.

“Saya merasa bangga bisa dipilih sebagai pembawa obor pada Olimpiade 2008 ini. Kebanggaan ini saya pikir bukan hanya milik saya, tapi juga kepunyaan seluruh rakyat Aceh, saya pergi membawa nama Aceh,” katanya.

Di Jakarta, Azhar akan berdampingan dengan lima pembawa obor lainnya yang namanya cukup dikenal di Indonesia, seperti Emil Salim yang mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan penyanyi Nugie.



Junaidi Mulieng adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga bekerja sebagai wartawan koran Harian Aceh dan tabloid Sipil.





Sejarah


2806 kata

Panglima Polem

Oleh Junaidi Mulieng

“SAYA sudah tiga tahun menemani Panglima,” ungkap lelaki tua itu.

“Itu saya lakukan atas kerelaan dan keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun yang saya terima dan saya tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya.

Namanya Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya dipenuhi keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu yang jadi sekat tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel permakaman Panglima Polem.

Meunoe keuh meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau sudah tua, tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara parau. Ia mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana abu-abu.

Ka lhee beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit, beliau tidak ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.

Usia Abdullah 90 tahun. Suaranya pelan dan parau, sehingga beberapa kali apa yang diucapkannya kurang jelas terdengar. Untuk berbicara dengannya pun harus dengan nada tinggi, karena pendengarannya juga mulai terganggu.

Hana pah le londeungoe, beurayek bacut gata peugah hai neuk (pendengaran saya sudah tidak pas lagi, yang besar sedikit ngomongnya nak),” kata Abdullah.

Abdullah tinggal di rumah sederhana. Atap rumbia, lantai bambu. Dinding rumah terbuat dari anyaman pelepah rumbia. Rumah itu hanya terbagi dua bagian. Satu untuk dapur, satunya lagi untuk kamar tidur. Rumah Abdullah tak jauh dari areal pemakaman Panglima Polem.


SUARA jangkrik hutan terdengar nyaring di areal permakaman. Letaknya di desa Lam Sie, kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Bukit-bukit kecil, pegunungan, dan hamparan sawah yang membentang luas dengan padi mulai menguning mengitari permakaman seluas setengah hektare ini.

Sebuah balai merah muda terlihat dipenuhi dedaun gugur. Dekat pintu masuk salah satu makam terdapat sumur dengan kedalaman sekitar 20 meter. Ilalang dan semak tumbuh di sekeliling makam, mulai dari pintu masuk, sampai ke dalam. Ini membuat tempat itu terkesan tak terawat. Nisan-nisan tua kebanyakan tak bernama.

Di depan permakaman terdapat dua pengumuman. Di beton bercat putih yang mulai mengelupas itu tertulis “Komplek Pemakaman T. Panglima Polem”, sedangkan di lempeng besi yang dipenuhi karat tertera peringatan: “Dilarang menjarah atau merusak peninggalan sejarah purba kala.”

Seingat Abdullah, makam Panglima Polem sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sekitar tahun 1800-an. Awalnya makam itu dibangun secara sederhana, layaknya permakaman lainnya. Beberapa tahun lalu pihak keluarga mulai melakukan pembangunan kembali makam tersebut. Namun Abdullah tidak mengetahui pasti siapa yang menjaga makam itu sebelum dia.

Ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba Abdullah mencoba bangkit dan berdiri, meskipun kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Hoe keu neuk jak Abu? (mau kemana Abu),” tanya Yusuf pada kakeknya.

Lon grah, keu neuk cok ie (saya haus, mau ambil air),” ujar Abdullah.

Neu duek hinan mantoeng, bah lon nyang cok. (duduk di situ saja, biar saya yang ambil),” sahut Yusuf.

Baru saja Yusuf mau bergerak dari tempat duduknya, Sakdiyah keluar dari ruangan sebelah sambil membawa segelas air putih untuk Abdullah. Rupanya Sakdiyah mendengar ketika Abdullah, ayahnya, meminta air.

“Kakek saya memang seperti itu, tidak pernah mau menyusahkan orang. Semuanya mau dikerjakan sendiri. Terkadang saya iri padanya. Walaupun sudah tua dan sakit seperti ini, tapi semangat kerjanya luar biasa,” kata Yusuf dengan nada serius.

Menurut Abdullah, ia tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah selama ia menjaga makam. Ia hanya memperoleh sedekah ala kadarnya dari para peziarah makam.

“Dari situ saya beli beras atau setumpuk ikan,” kata Abdullah.

Biasanya, hampir tiap minggu ada peziarah yang berkunjung ke makam tersebut. Di antara mereka ada yang ingin melepas nazar (janji), maupun hanya sekedar berziarah melihat-lihat tempat bersejarah.

Abdullah masih berharap akan ada bantuan dari pemerintah agar permakaman itu bisa lebih terawat. Alasannya, makam-makam tersebut adalah makam para pahlawan yang telah berjasa terhadap kemerdekaan negara ini.


DARI permakaman itu saya mengunjungi sebuah rumah di tengah kota Banda Aceh, tepatnya di Lampineung, yang tampak begitu asri. Pepohonan dan bunga-bunga memenuhi halaman.

Seorang pria bersetelan sarung kotak-kotak merah hati dan kemeja warna senada tersenyum ramah di teras rumah itu. Ia adalah Teuku Zainul Arifin Panglima Polem. Desember nanti ia akan berusia 60 tahun. Ia anak Panglima Polem X, Teuku Muhammad Ali, sekaligus cucu Panglima Polem IX, Muhammad Daud.

“Kuburan itu sudah ada sejak tahun 1800-an sejak dimakamkan Panglima Polem I yang bernama Tengku Dibatee Timoh. Nama itu diberikan setelah beliau meninggal, karena batu nisannya yang terus tumbuh. Makam beliau berdekatan dengan makam besar Muhammad Daud,” tutur Arifin kepada saya.

Menurut Arifin, makam tempat Panglima Polem Muhammad Daud disemayamkan dibangun pemerintah Indonesia sekitar tahun 1970-an sebagai tanda penghormatan. Di dekatnya juga ada makam ayah Arifin, Panglima Polem X, Muhammad Ali.

“Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda,” ujar Arifin.

Arifin menceritakan silsilah Panglima Polem kepada saya.

“Sultan Iskandar Muda menikah dengan tiga perempuan. Dari istri pertama beliau mempunyai dua orang anak. Si sulung bernama Meurah Pupok. Ia dihukum mati karena dituduh berzinah,” kisah Arifin.

Kisah Meurah Pupok berzinah telah lama beredar di kalangan warga Aceh, tetapi kebenarannya masih diragukan. Belum ada bukti sejarah yang otentik tentang peristiwa tersebut.

Anak kedua Sultan bernama Sultanah Safiatuddin, yang menikah dengan Sultan Iskandar Tani. Namun pernikahan Safiatuddin dengan Iskandar Tani tidak menghasilkan keturunan.

Isteri Sultan yang kedua bernama Puteri Kamaliah atau lebih dikenal Puteri Pahang atau Putroe Phang. Ia puteri dari Kerajaan Pahang. Dari isteri keduanya ini pun Sultan tidak dikaruniai keturunan. Isteri ketiga Iskandar Muda bernama Nyak Meuligoe. Ia asal Lam Sie, Seulimum, Aceh Besar.

Dari isteri ketiga ini Sultan dikaruniai seorang putera bernama Tueku Imum Itam Maharaja yang bergelar Teuku Dibatee Timoh. Ia juga dimakamkan di permakaman Panglima Polem di Lam sie.

“Sebenarnya Panglima Polem (Teuku Dibatee Timoh) dijagokan menggantikan Sultan. Tapi karena ia merasa bukan anak dari istri pertama, ia membantu adiknya, Safiatuddin untuk menjalankan pemerintahan. Karena itulah ada embel-embel Polem di belakang nama Panglima, yang berarti Abang,” jelas Arifin.

Teuku Dibatee Timoh mempunyai seorang putera yang diberi nama Teuku Panglima Polem Cut Sakti Lamcot (1675) atau Panglima Sagi XXII Mukim/Mangkubumi. Kepada Cut Sakti Lamcot inilah gelar Panglima Polem pertama kali diberikan. Setelah Cut Sakti Lamcot meninggal dunia, gelar Panglima Polem diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yaitu Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Lahat, Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Kleung, Sri Muda Perkasa Panglima Polem Cut Ahmad (1845), Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Sri Muda Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Raja Kuala (1896), dan Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Muhammad Daud (1896-1936).

Gelar Panglima Polem diberikan kepada keturunan Panglima Polem yang cakap dan cerdas. Tidak harus anak lelaki pertama.

“Seperti Panglima Polem II, yang bernama Teuku Muda Sakti, ia merupakan anak kedua Panglima Polem I. Sebenarnya, sang kakak Teuku Muda Suara yang menyandang gelar Panglima, tapi setelah dua bulan, gelar itu diberikan kepada adiknya yang dianggap lebih mampu,” lanjut Arifin.

Arifin kemudian berkisah tentang kakeknya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada Januari 1891 ia diangkat sebagai Panglima Polem IX untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya, dia diberi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.

Dari kesepuluh Panglima Polem tersebut, yang paling banyak dicatat sejarah adalah perjuangan dan kehidupan Muhammad Daud. Fotonya banyak dipajang di sekolah-sekolah dasar. Lelaki itu memakai meukeutop, topi khas Aceh, baju putih, dan kacamata tebal-bundar seperti milik penyanyi pop Amerika terkenal yang mati ditembak, John Lennon.

Meski begitu, kata Arifin, banyak data sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia melenceng dari kenyataan sebenarnya.

“Seperti adanya isu bahwa Panglima Polem (Muhammad Daud) menyerah kepada Belanda. Padahal Panglima Polem tidak pernah menyerah melainkan mengatur strategi baru untuk melawan Belanda.” Arifin menjelaskan tentang perjuangan kakeknya.

Menurut Arifin, pada tahun 1930-an sang kakek membangun komitmen dengan Belanda di Lhokseumawe. Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Daud menyatakan tidak akan berperang gerilya. Hal itu disambut Belanda dengan penuh suka cita. Sebenarnya itu merupakan taktik sang panglima yang hendak berjuang lewat jalur pendidikan. Muhammad Daud kemudian mendirikan Ma’had Iskandar Muda atau disingkat MIM.

Pada saat itu ia melihat kondisi masyarakat Aceh yang dianggapnya sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai agama.

“Akhirnya beliau turun gunung berhenti bergerilya. Pada tahun 1935 ia memanggil kembali ulama Aceh yang bernama Abu Lam U dan Teuku Indrapuri yang sedang berada di Malaysia untuk membenahi kembali masyarakat Aceh yang sudah lupa daratan,” kisah Arifin dengan semangat.

“Gelar Panglima Polem bukan sembarang diberikan, itu merupakan milik sah keluarga dan keturunan Panglima Polem. Tapi setelah ayah saya, Panglima Polem Muhammad Ali, gelar Panglima Polem hanya diletakkan di belakang nama saja, karena kita bukan pahlawan hanya pewaris,” lanjutnya.

Dari pernikahan Muhammad Daud dengan Teuku Ratna lahir seorang putra yang dinamai Teuku Panglima Polem Muhammad Ali atau Panglima Sagi XXII Mukim.

Muhammad Ali mempunyai dua orang istri, yaitu Teungku Putri dan Cut Nyak Bungsu. Isterinya yang pertama berasal dari Keudah, Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Dari Teuku Putri, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Pocut Asiah, Teuku Hasan (almarhum), Teuku Abdullah (almarhum), dan Teuku Husni.

Cut Nyak Bungsu yang berasal dari Padang Tiji, Pidie, memberinya empat anak pula, yaitu Teuku Bachtiar Panglima Polem (almarhum), Teuku Iskandar Panglima Polem, Teuku Zainul Arifin Panglima Polem dan Pocut Ernawati.


DALAM buku Sumbangsih Aceh Bagi Republik yang disunting Teuku Mohammad Isa, disebutkan bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali merupakan seorang pahlawan Aceh yang telah berjuang sejak penjajahan Belanda sampai Jepang.

Lelaki kelahiran Lam Sie tahun 1905 ini sempat ditolak pemerintah Belanda untuk menggantikan ayahandanya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selaku Panglima Sagi (Panglima Sago) XXII Mukim. Namun, ia akhirnya sah diangkat sebagai panglima sago pada pertengahan tahun 1941.

Pada 24 Februari 1942, Muhammad Ali memimpin serangan terhadap militer Belanda di Seulimeum sebagai titik awal perlawanan untuk kemerdekaan di Aceh Besar.

Di tahun 1944 ia berhasil mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang. Ia menjabat Asisten Residen Aceh dan Ketua Kemakmuran Karesidenan Aceh pada Desember 1945.

Di awal Juni 1948 presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Rakyat Aceh menyambut kunjungan presiden pertama Indonesia itu dengan meriah. Pada tanggal 17 Juni 1948, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) mengadakan jamuan khusus untuk Soekarno di Hotel Aceh, Kuta Raja.

Dengan nada sungguh-sungguh, Soekarno meminta rakyat Aceh membelikan dua pesawat udara untuk Republik Indonesia atau RI. Pesawat udara tersebut akan digunakan untuk menembus blokade udara total Belanda.

Tiba-tiba Haji Juned, wakil GASIDA, membisiki Muhammad Ali untuk menerima tantangan Soekarno itu.

Ia mengajukan dirinya menjadi ketua umum panitia pembelian dua pesawat terbang, yaitu Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.

Minggu pagi, 20 Juni 1948, bertempat di pendopo Keresidenan Aceh, diadakan penyerahan secara simbolis dua pesawat tersebut kepada presiden Soekarno. Penyerahan dilakukan langsung oleh Muhammad Ali atas nama GASIDA sekaligus Residen Aceh dan Teuku Chiek Daudsyah, atas nama rakyat Aceh. Masing-masing menyerahkan Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.

“Untuk pembelian pesawat udara Seulawah RI 01 dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari GASIDA. Satu lagi, Seulawah RI 02, dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari masyarakat Aceh. Setelah itu, baru diserahkan dalam bentuk mata uang untuk pembelian pesawat tersebut,” kisah Arifin.

Menurut Arifin, setelah penyerahan tersebut rakyat Aceh sedikit kecewa.

“Masyarakat Aceh menyumbang pada Soekarno untuk membeli dua pesawat. Namun yang terbeli hanya satu, sedangkan untuk satunya lagi tidak tahu. Raib entah ke mana,” kata Arifin.

Seulawah RI 01 ini, oleh Wiweko, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI, dengan piawainya dikomersilkannya ke luar negeri, tepatnya di Burma, selama masa agresi Belanda II. Seluruh keuntungan usaha ini digunakan untuk membiayai kegiatan diplomat Indonesia di luar negeri. Dengan berbekal Seulawah RI 01, Wiweko membangun perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways yang.

“Sangkalan sebagian orang Indonesia bahwa fakta Seulawah RI 01 dan RI 02 dan Aceh sebagai daerah modal Republik Indonesia hanya mitos, perlu dikaji ulang,” kata Arifin, tegas.


PADA 1958, Muhammad Ali merasa tak ada lagi yang bisa dilakukannya di Aceh. Ruang geraknya hanya di dalam kota, sedang kondisi di luar kota tidak aman. Pasukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguasai Aceh.

“Ayah memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Untuk keamanannya, diurus Wakil Perdana Menteri II Kabinet AA (sebutan pada waktu itu), Kyai Haji Idham Khalid. Ayah saya diangkat menjadi penasehatnya dengan Surat Keputusan Nomor 62/WKPM/X/1958,” ujar Arifin.

Sementara itu Aceh sedang melakukan perdagangan dengan Penang, Malaysia. Dan berkat bantuan Wakil Perdana Menteri II Idham Khalid, dengan izin Menteri Perindustrian Ir. Inkiriwang, Muhammad Ali ditunjuk sebagai salah satu distributor semen Padang untuk Sumatera Utara.

Suatu malam di awal bulan Desember 1958, sewaktu Muhammad Ali sedang tidur nyenyak bersama Jusuf Gading di Krekot Bunder, Jakarta, tiba-tiba penginapan mereka digedor tentara. Setelah pintu dibuka, masuklah dua perwira yang menanyakan Muhammad Ali. Mereka memintanya menyiapkan pakaian untuk dibawa, karena ia akan ditahan.

Penahanan itu berdasarkan surat perintah yang ditandatangani Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat waktu itu, Jenderal Abdul Haris Nasution.

“Penangkapan tersebut merupakan suatu kekeliruan dan ayah saya sama sekali tidak merasa takut waktu itu, karena beliau merasa tidak bersalah. Beliau yakin, setelah diperiksa, akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik dan sopan,” tutur Arifin.

Muhammad Ali dibawa ke Mampang I. Ini Markas Team Khusus SUAD I (sebutan untuk tentara waktu itu). Tak berapa lama, kemenakannya yang bernama Tuanku Husin bergabung dengannya di tahanan militer itu. Mereka menduga hal ini terjadi atas permintaan Jenderal Nasution.

Usut punya usut, rupanya penahanan ini berkaitan dengan pertemuan Muhammad Ali dan sejumlah rekannya, termasuk Tuanku Husin, dengan menteri dalam negeri. Pertemuan itu bertujuan agar tercapai perdamaian di Aceh yang tengah dilanda pemberontakan DI/TII.. Rombongan ini juga berniat menghadap presiden Soekarno.

Setelah ditahan di Mampang I, Muhammad Ali dibawa ke penjara Cipinang dan digolongkan sebagai tahanan politik.

“Setelah ditahan setengah bulan, ayah saya dipanggil ke kantor penjara. Di sana beliau difoto, diukur tinggi badan dan dibuat sidik jari. Seperti orang yang berurusan karena perbuatan kriminal. Kemudian disuruh kembali ke tempat dan tidak dilakukan apa-apa. Padahal dalam dalam perintah yang ditandatangani Jenderal A.H. Nasution, ayah saya diperiksa dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam,” kisah Arifin.

Di akhir Agustus 1959, status Muhammad Ali menjadi tahanan rumah. Ini berdasarkan surat yang ditandatangani Jenderal Nasution dan Kapten Soedharmono.

“Sebulan setelah itu, status diubah menjadi tahanan kota. Selama tahanan kota, setiap hari Kamis, beliau harus melapor ke Mampang I. Akhir tahun 1959, ayah saya baru bebas dari semua status tahanan. Beliau ditangkap karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan DI/TII. Namun kecurigaan tersebut tidak terbukti, karena ayah saya orang yang bersih dan ikhlas membela negara,” kata Arifin.

Setelah keluar dari penjara, saat pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat Republik Indonesia atau MPRS RI tahun 1962, Muhammad Ali diangkat jadi anggota selaku utusan daerah bersama-sama dengan anggota lainnya.

“Tahun 1967, beliau diberhentikan secara hormat karena tidak terpilih lagi,” lanjut Arifin.

Namun tanggal 1 Agustus 1968, Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kyai Haji Idham Khalid mengangkatnya sebagai Penasehat Bidang Khusus, dengan keputusan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat No.32/Kpts/Kesra/VII/68.

MUHAMMAD Ali jatuh miskin ketika kembali ke Aceh. Tak lama setelah kembali ke kampung halaman, ia berusaha mengirim surat kepada menteri dalam negeri dengan perantara gubernur Aceh Sumatera untuk memohon agar dirinya diberikan tunjangan pensiun.

Ia melampirkan semua besluit (surat keputusan), kecuali satu, besluit pemberhentiannya sebagai bupati Pidie yang diperbantukan pada gubernur Sumatera Utara. Surat itu hilang. Meski salinannya tidak dilampirkan, tanggal dan nomor surat besluit tetap disebutkan.

“Dengan perantaraan temannya di Jakarta, ayah saya menyuruh untuk mencari dalam Arsip Departemen Dalam Negeri RI. Setelah ditemukan, ternyata bundel arsip ayah saya berisi satu bon dan sebagian isi bundel tersebut telah diambil oleh seorang pegawai dan pegawai tersebut telah meninggal dunia. Karena kekurangan besluit pemberhentian itu, keputusan tentang pensiunnya tidak dapat diberikan oleh menteri dalam negeri,” urai Arifin.

Menurut Arifin, pada 1962 Muhammad Ali pernah menerima sepucuk surat dari Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang berisi tentang penjelasan kesediaannya untuk diangkat kembali sebagai bupati Pidie. Surat tersebut ditandatangani Kepala Seksi Sumatera Nusa Tenggara, Suparko.

“Namun surat tersebut tidak diterima olah ayah saya, karena pada waktu itu beliau telah kembali ke Aceh,” ujar Arifin.

Akhirnya Muhammad Ali membalas surat itu. Setelah mengisi daftar isian yang dilampirkan dalam surat tersebut, yang masing-masing tiga rangkap. Setelah mendapat pengesahan Panglima Kodam I, waktu itu Kolonel Nyak Adam Kamil, Muhammad Ali berangkat kembali ke Jakarta untuk menjumpai Suparko dan menyampaikan sendiri surat pengangkatannya.

Pada waktu Suparko membaca daftar isian dalam kolom kedudukan terakhir saat pemberontakan DI/TII, Suparko mengajukan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Ali.

“Bekerja Aktif, menerima uang tunggu karena sakit dan turut memberontak. Pertanyaan terhadap keterlibatan ayah saya sebagai pemberontak, berkali-kali ditanyakan. Namun beliau menjawab dengan tegas dan bangga, tidak pernah memberontak terhadap Pemerintah RI,” ujar Arifin.

Tapi entah mengapa, Suparko tetap memutuskan untuk tidak menyetujui memberikan uang pensiun kepada Muhammad Ali.

“Itulah ketidakadilan, orang yang setia pada negara tidak diperhatikan, yang tidak setia diperhatikan. Hal ini sama seperti Aceh sekarang, bagi mereka yang dianggap memberontak diberikan bantuan, sedangkan masyarakat yang hidup miskin dan berjasa pada negara, tidak mendapatkan apa-apa. Sejarah selalu berulang,” kata Arifin, lagi.

Pada 6 Januari 1974 Muhammad Ali menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah sepeser pun menerima uang pensiunnya.

Ironisnya, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada Panglima Polem terakhir ini pada 2003, ketika Megawati Soekarno menjabat presiden.


Junaidi Mulieng adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga bekerja sebagai wartawan di Harian Aceh dan Tabloid Sipil.